Selasa, 13 Januari 2009

SEJARAH ASTRONOMI ISLAM DAN
PENGARUHNYA DI DUNIA

PENDAHULUAN
Astronomi merupakan sains kuno yang paling lama, paling banyak dikembangkan, dan paling dihargai. Sebagai salah satu ilmu pengetahuan tertua dalam peradaban manusia, astronomi kerap dijuluki sebagai ‘ratu sains’. Astronomi memang menempati posisi yang terbilang istimewa dalam kehidupan manusia. Sejak dahulu, manusia begitu terkagum-kagum ketika memandang kerlip bintang dan pesona benda-benda langit yang begitu luar biasa. Ketertarikan awal atas astronomi memiliki akar dalam astrologi dan ketrpesonaan pada kekuatan dan misteri langit, sehingga manusia menganggap fenomena langit sebagai sesuatu yang magis.
Seiring berputarnya waktu dan zaman, manusia pun memanfaatkan keteraturan benda-benda yang mereka amati di angkasa untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti penanggalan. Dengan mengamati langit, manusia pun bisa menentukan waktu untuk pesta, upacara keagamaan, mulai menabur benih dan panen. Dengan terus berkembangnya zaman dan ketertarikan pada benda angkasa sehingga ilmu ini terus berkembang dan di teliti oleh setiap bangsa pada masa berbeda di belahan bumi manapun, baik pada peradaban Babilonia, yunani , sampai bangsa Arab. Namun demikian, sebelum Islam datang bangsa Arab tidak memiliki astronomi yang dianggap ilmiah.

PEMBAHASAN
1. Pengertian Dan Kaitannya Dengan Astrologi
Astronomi, yang secara etimologi berarti "ilmu bintang" (dari bahasa yunani ; astro : bintang dan nomos : ilmu), Ilmu ini juga biasa disebut dengan Ilmu falak. Sedangkan secara terminologi adalah ilmu yang melibatkan pengamatan dan penjelasan kejadian yang terjadi di luar Bumi dan atmosfernya. Ilmu ini mempelajari kosmologi, evolusi, sifat fisik dan kimiawi benda-benda yang bisa dilihat di langit (dan di luar Bumi). Sedanhkan astrologi ialah ilmu yang mempelajari tentang pergerakan benda-benda langit dan bagaimana hubungannya dengan nasib manusia. Meskipun memiliki asal-muasal yang sama, yaitu observasi dan pengamatan atas benda langit, akan tetapi kedua bidang ini sangat berbeda; astronomi menggunakan metode ilmiah, sedangkan astrologi tidak.

2. Sejarah Singkat Perkembangan Astronomi
Jejak astronomi tertua ditemukan dalam peradaban bangsa Sumeria dan Babilonia yang tinggal di Mesopotamia (3500 - 3000 SM). Bangsa Sumeria hanya menerapkan bentuk-bentuk dasar astronomi. Pembagian lingkaran menjadi 360 derajat berasal dari bangsa Sumeria. Orang Sumeria juga sudah mengetahui gambaran konstelasi bintang sejak 3500 SM. Mereka menggambar pola-pola rasi bintang pada segel, vas, dan papan permainan. Nama rasi Aquarius yang dikenal saat ini berasal dari bangsa Sumeria.
Astronomi juga sudah dikenal masyarakat India kuno. Sekitar tahun 500 SM, Aryabhata melahirkan sistem matematika yang menempatkan bumi berputar pada porosnya. Aryabhata membuat perkiraan mengenai lingkaran dan diameter bumi. Brahmagupta (598 – 668 M) juga menulis teks astronomi yang berjudul Brahmasphutasiddhanta pada 628 M. Dialah astronom pendahulu yang menggunakan aljabar untuk memecahkan masalah-masalah astronomi.
Masyarakat Cina kuno 4000 SM juga sudah mengenal astronomi. Awalnya, astronomi di Cina digunakan untuk mengatur waktu. Orang Cina menggunakan kalender lunisolar. Namun, kerena perputaran matahari dan bulan berbeda, para ahli astronomi Cina sering menyiapkan kalender baru dan membuat observasi.
Bangsa Yunani kuno juga amat tertarik dengan astronomi. Adalah Thales yang mengawalinya pada abad ke-6 SM. Menurut dia, bumi itu berbentuk datar. Phytagoras sempat membantah pendapat itu dengan menyatakan bumi itu bulat. Dua abad berselang, Aristoteles melahirkan terobosan penting yang menegaskan menyatakan bahwa bumi itu bulat bundar.
Aristachus pada abad ke-3 SM sempat melontarkan pendapat bahwa Bumi bukanlah pusat alam semesta. Teori itu tak mendapat tempat pada masa itu. Era astronomi klasik ditutup Hipparchus pada abad ke-1 SM yang melontarkan teori geosentris. Bumi itu diam dan dikelilingi oleh matahari, bulan, dan planet-planet yang lain. Sistem geosentris itu disempurnakan Ptolomeus pada abad ke-2 M.

3. Perkembangan Astronomi di dunia Islam
Setelah runtuhnya kebudayaan Yunani dan Romawi pada abad pertengahan, maka kiblat kemajuan ilmu astronomi berpindah ke bangsa Arab. Astronomi berkembang begitu pesat pada masa keemasan Islam (8 - 15 M). Karya-karya astronomi Islam kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab dan dikembangkan para ilmuwan di Timur Tengah, Afrika Utara, Spanyol dan Asia Tengah.
Salah satu bukti dan pengaruh astronomi Islam yang cukup signifikan adalah penamaan sejumlah bintang yang menggunakan bahasa Arab, seperti Aldebaran dan Altair, Alnitak, Alnilam, Mintaka (tiga bintang terang di sabuk Orion), Aldebaran, Algol, Altair, Betelgeus.
Selain itu, astronomi Islam juga mewariskan beberapa istilah dalam `ratu sains’ itu yang hingga kini masih digunakan, seperti alhidade, azimuth, almucantar, almanac, denab, zenit, nadir, dan vega. Kumpulan tulisan dari astronomi Islam hingga kini masih tetap tersimpan dan jumlahnya mencapaii 10 ribu manuskrip.
Ahli sejarah sains, Donald Routledge Hill, membagi sejarah astronomi Islam ke dalam empat periode. Periode pertama (700-825 M) adalah masa asimilasi dan penyatuan awal dari astronomi Yunani, India dan Sassanid. Periode kedua (825-1025 M) adalah masa investigasi besar-besaran dan penerimaan serta modifikasi sistem Ptolomeus. Periode ketiga (1025-1450 M), masa kemajuan sistem astronomi Islam. Periode keempat (1450-1900 M), masa stagnasi, hanya sedikit kontribusi yang dihasilkan.
Geliat perkembangan astronomi di dunia Islam diawali dengan penerjemahan secara besar-besaran karya-karya astronomi dari Yunani serta India ke dalam bahasa Arab. Salah satu yang diterjemahkan adalah karya Ptolomeus yang termasyhur, Almagest. Berpusat di Baghdad, budaya keilmuan di dunia Islam pun tumbuh pesat.
Sejumlah, ahli astronomi Islam pun bermunculan, Nasiruddin at-Tusi berhasil memodifikasi model semesta episiklus Ptolomeus dengan prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda langit. Selain itu, ahli matematika dan astronomi Al-Khawarizmi, banyak membuat tabel-tabel untuk digunakan menentukan saat terjadinya bulan baru, terbit-terbenam matahari, bulan, planet, dan untuk prediksi gerhana.
Ahli astronomi lainnya, seperti Al-Batanni banyak mengoreksi perhitungan Ptolomeus mengenai orbit bulan dan planet-planet tertentu. Dia membuktikan kemungkinan gerhana matahari tahunan dan menghitung secara lebih akurat sudut lintasan matahari terhadap bumi, perhitungan yang sangat akurat mengenai lamanya setahun matahari 365 hari, 5 jam, 46 menit dan 24 detik.
Astronom Islam juga merevisi orbit bulan dan planet-planet. Al-Battani mengusulkan teori baru untuk menentukan kondisi dapat terlihatnya bulan baru. Tak hanya itu, ia juga berhasil mengubah sistem perhitungan sebelumnya yang membagi satu hari ke dalam 60 bagian (jam) menjadi 12 bagian (12 jam), dan setelah ditambah 12 jam waktu malam sehingga berjumlah 24 jam.
Buku fenomenal karya Al-Battani pun diterjemahkan Barat. Buku ‘De Scienta Stelarum De Numeris Stellarum’ itu kini masih disimpan di Vatikan. Tokoh-tokoh astronomi Eropa seperti Copernicus, Regiomantanus, Kepler dan Peubach tak mungkin mencapai sukses tanpa jasa Al-Batani. Copernicus dalam bukunya ‘De Revoltionibus Orbium Clestium’ mengaku berutang budi pada Al-Battani.
Dunia astronomi juga tak bisa lepas dari bidang optik. Melalui bukunya Mizan Al-Hikmah, Al Haitham mengupas kerapatan atmofser. Ia mengembangkan teori mengenai hubungan antara kerapatan atmofser dan ketinggiannya. Hasil penelitiannya menyimpulkan ketinggian atmosfir akan homogen di ketinggian lima puluh mil.
Teori yang dikemukakan Ibn Al-Syatir tentang bumi mengelilingi matahari telah menginspirasi Copernicus. Akibatnya, Copernicus dimusuhi gereja dan dianggap pengikut setan. Demikian juga Galileo, yang merupakan pengikut Copernicus, secara resmi dikucilkan oleh Gereja Katolik dan dipaksa untuk bertobat, namun dia menolak.
Menurut para ahli sejarah, kedekatan dunia Islam dengan dunia lama yang dipelajarinya menjadi faktor berkembangnya astronomi Islam. Selain itu, begitu banyak teks karya-karya ahli astronomi yang menggunakan bahasa Yunani Kuno, dan Persia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab selama abad kesembilan. Proses ini dipertinggi dengan toleransi terhadap sarjana dari agama lain. Sayang, dominasi itu tak bisa dipertahankan umat Islam.

4. Tokoh Astronomi Islam
Ilmuwan Islam begitu banyak memberi kontribusi bagi pengembangan dunia astronomi. Buah pikir dan hasil kerja keras para sarjana Islam di era tamadun itu diadopsi serta dikagumi para saintis Barat. Inilah beberapa ahli astronomi Islam dan kontribusi yang telah disumbangkannya bagi pengembangan `ratu sains’ itu. Tokoh-tokoh tersebut antara lain :
a) Al-Battani (858-929 M)
Mempunyai nama lengakap Abu Abdallah Muhammad Ibnu Jabir Ibnu Sinan al-Battani al-Harrani, ia salah satu ahli astronomi terkemuka, lahir di Battan wilayah Harran (Turki) pada tahun 858 M, merupakan anak seorang ilmuwan Ash-Shabi’in (penyembah bintang). Kemudian pindah ke Raqqa, tepi sungai Efrat, untuk belajar, dan kemudian bekerja di Samara sampai wafat tahun 929 M. Kontribusi dalam bdang sains yaitu; Penentuan akurat tahun matahari 365 hari, 5 jam, 46 menit, 24 detik, kemiringan ekliptika dan lamanya musim, variasi diameter piringan matahari dan gerhana matahari cincin (berbeda dari konsep Ptelomeus), orbit bulan dan kemungkinan penampakan hilal, solusi beberapa masalah trigonometri bola dengan proyeksi ortografi, konsep sinus dan cotangent dan tabelnya. Sejumlah karya tentang astronomi terlahir dari buah pikirnya. Salah satu karyanya yang paling populer adalah al-Zij al-Sabi. Kitab itu sangat bernilai dan dijadikan rujukan para ahli astronomi Barat selama beberapa abad, selepas Al-Battani meninggal dunia. Ia berhasil menentukan perkiraan awal bulan baru, perkiraan panjang matahari, dan mengoreksi hasil kerja Ptolemeus mengenai orbit bulan dan planet-planet tertentu. Al-Battani juga mengembangkan metode untuk menghitung gerakan dan orbit planet-planet. Ia memiliki peran yang utama dalam merenovasi astronomi modern yang berkembang kemudian di Eropa.
b) Al-Sufi (903-986 M)
Orang Barat menyebutnya Azophi. Nama lengkapnya adalah Abdur Rahman as-Sufi. Al-Sufi merupakan sarjana Islam yang mengembangkan astronomi terapan. Ia berkontribusi besar dalam menetapkan arah laluan bagi matahari, bulan, dan planet dan juga pergerakan matahari. Dalam Kitab Al-Kawakib as-Sabitah Al-Musawwar, Azhopi menetapkan ciri-ciri bintang, memperbincangkan kedudukan bintang, jarak, dan warnanya. Ia juga ada menulis mengenai astrolabe (perkakas kuno yang biasa digunakan untuk mengukur kedudukan benda langit pada bola langit) dan seribu satu cara penggunaannya.
c) Al-Biruni
Abu Raihan Mohammad Ibn Ahmad al-Biruni lahir tahun 973 M di Khiva, Kazkhstan. Ia dibawa Sultan Mahmood Ghaznawi ke India beberapa kali den bertukar ilmu dengan pendeta Hindu. Wafat tahun 1048 M. adapun bukunya al-Qanun al-Masudi, fi al-Hai'a wa al-Nujum membahas beberapa teori astronomi, trigonometri, serta gerakan matahari, bulan dan planet, geografi, termasuk lintang dan bujur berbagai tempat. Membahas rotasi bumi dan fenomena astronomi. Sedangkan buku al-Tafhim-li-Awail Sina'at al-Tanjim adalah ringkasan matematika dan astronomi. Ahli astronomi yang satu ini, turut memberi sumbangan dalam bidang astrologi pada zaman Renaissance. Ia telah menyatakan bahwa bumi berputar pada porosnya. Pada zaman itu, Al-Biruni juga telah memperkirakan ukuran bumi dan membetulkan arah kota Makkah secara saintifik dari berbagai arah di dunia. Dari 150 hasil buah pikirnya, 35 diantaranya didedikasikan untuk bidang astronomi.
d) Ibnu Yunus
Sebagai bentuk pengakuan dunia astronomi terhadap kiprahnya, namanya diabadikan pada sebuah kawah di permukaan bulan. Salah satu kawah di permukaan bulan ada yang dinamakan Ibnu Yunus. Ia menghabiskan masa hidupnya selama 30 tahun dari 977-1003 M untuk memperhatikan benda-benda di angkasa. Dengan menggunakan astrolabe yang besar, hingga berdiameter 1,4 meter, Ibnu Yunus telah membuat lebih dari 10 ribu catatan mengenai kedudukan matahari sepanjang tahun.
e) Al-Farghani
Nama lengkapnya ialah Abu’l-Abbas Ahmad ibnu Muhammad ibnu Kathir al-Farghani, lahir di Farghana, Transoxiana hidup pada masa khalifah al-Ma’mun (860 M). Ia merupakan salah seorang sarjana Islam dalam bidang astronomi yang amat dikagumi. Beliau adalah merupakan salah seorang ahli astronomi pada masa Khalifah Al-Ma’mun. Ia menulis mengenai astrolabe dan menerangkan mengenai teori matematik di balik penggunaan peralatan astronomi itu. Kontribusi lainnya tentang gerakan benda langit dan dasar-dasar ilmu bintang berpengaruh pada perkembangan astronomi abd 12-17 di Eropa, menentukan diameter bumi dan planet. Kitabnya yang paling populer adalah Fi al-Harakat al-Samawiya wa Jawami Ilm al-Nujum , tentang kosmologi.
f) Al-Zarqali (1029-1087 M)
Saintis Barat mengenalnya dengan panggilan Arzachel. Wajah Al-Zarqali diabadikan pada setem di Spanyol, sebagai bentuk penghargaan atas sumbangannya terhadap penciptaan astrolabe yang lebih baik. Beliau telah menciptakan jadwal Toledan dan juga merupakan seorang ahli yang menciptakan astrolabe yang lebih kompleks bernama Safiha.
g) Jabir Ibn Aflah (1145 M)
Sejatinya Jabir Ibnu Aflah atau Geber adalah seorang ahli matematik Islam berbangsa Spanyol, namun Jabir pun ikut memberi warna da kontribusi dalam pengembangan ilmu astronomi. Geber, begitu orang barat menyebutnya, adalah ilmuwan pertama yang menciptakan sfera cakrawala mudah dipindahkan untuk mengukur dan menerangkan mengenai pergerakan objek langit. Salah satu karyanya yang populer adalah Kitab al-Hay’ah
h) Jabir Ibn Haiyan
Abu Musa Jabir Ibn Hayyan al-Harrani al-Sufi dikenal sebagai seorang ahli kimia Islam bahkan dianggap sebagai bapak kimia. Ia seorang anak ahli obat-obatan (Attar), Ia belajar obat dan kimia di Kufah tahun 776 M pada Imam Ja'far Sadiq dan Khalid Ibn Yazid (Bani Umayyah) yang mendapat dukungan Barmaki (zaman Harun al-Rasyid). Beliau meninggal di penjara tahun 803 M. Adapun kontribusi yang telah diberikan yaitu memperkenalkan eksperimen kimia, yang menjadi dasar kimia modern (mekanisme reaksi kimia, teknik kristalisasi, distilasi), menemukan beberapa mineral dan asam. Kirab-al-Kimya dan Kitab-al-Sab'in diterjemahkan ke bahasa latin dan populer di Eropa. Kontribusi lain di bidang kedokteran dan astronomi.
i) Mohammad Bin Musa Al-Khawarizmi
Lahir di Khawarizm (Khiva), Uzbekistan, kemudian pindah ke selatan Baghdad. Hidup semasa khalifah Al- Mamun (813-833 M), meninggal tahun 840 M . Asal-usul istilah "Aljabar", berasal dari nama bukunya "Al-Jabr wa-al-Muqabilah", sedangkan "Algoritma" berasal dari namanya. "Zero" berasal dari "shifr" (kosong). Kontribusinya antara lain; membangun beberapa konsep dan cabang matematika (a.l. solusi persamaan linier dan kuadrat). Memperkenalkan sistem angka Hindu-Arab (0,1,2,3...) dan "0" (nol), pembuka perkembangan matematika modern, tabel triginometri, tabel astronomi, jam sundial (jam matahari), peta bumi dan diameter bumi. Buku-bukunya terkenal di Eropa dan Cina sampai abad ke-16.
j) Ya’qub Ibn Ishaq Al-Kindi
Lahir di Kufah (800 M), seorang anak dari salah satu pejabat Harun Al-Rasyid. Wafat tahun 873 M. Adapun kontribusi yang diberikan antara lain; trigonometri bola untuk astronomi, pendapat bahwa reaksi kimia tidak mengubah unsur-unsurnya, geometri optik, metode sistematik dosis obat. Buku-bukunya: astronomi (16), Aritmatika (11), Geometri (32), kedokteran (22), fisika (12), filosofi (22), logika (9), Psikologi (5), dan musik (7) yang menjadi rujukan berabad-abad.
k) Tsabit Ibn Qurra Ibn Marwan al-Sabi al-Harrani
Lahir di Harran (Turki 835M) dari keluarga Ash-Shabi’in(penyembahn bintang), terpilih masuk kelompok ilmiah di baghdad di bawah khalifah AbbassiahMeninggal di Baghdad pada tahun 901 M. adapun kontribusi yang telah diberikan antara lain; mengembangkan konsep aljabar ke aljabar-geometri, konsep bilangan asli, triginometri bola, konsep perhitungan luas (kalkulus-integral), konsep irisan kerucut (lingkaran, elips, parabola, hiperbola), analisis problem gerakan bulan dan matahari yang berbeda dari konsep Ptelomeous, kondisi kesetimbangan benda. Buku-bukunya dan karya terjemahan dari bahasa Latin ke Arab menjadi rujukan berpengaruh.
l) Ali Ibn Rabban al-Tabari
Abu al-Hasan Ali Bin Sahl Rabban al-Tabari lahir tahun 838 M dari keluarga Yahudi dan meninggal tahun 870 M. Adapun kontribusiyang telah diberikan antara lain; Menyusun ensiklopedia ilmu pengetahuan pertama pada zamannya "Firdaus al-Hikmat" terdiri 7 bagian: (1) Kulliyat-u-Tibb menguraikan dasar-dasar kedokteran, (2) uraian organ tubuh manusia, aturan menjaga kesehatan, penyakit otot, (3) uraian makanan dalam kondisi sehat dan sakit, (4) uraian semua penyakit dari kepala sampai kaki (1/2 bagian buku), (5) uraian tentang bau, rasa, dan warna, (6) uraian obat dan racun, (7) aneka topik, termasuk kedokteran India, iklim, dan astronomi.
m) Abu Ali Hasan Ibn al-Haitsam
Merupakan bapak optik modern, nama baratnya Alhazem. Ia lahir di Basrah tahun 965 M dan belajar di Baghdad, kemudian ditugaskan ke Mesir untuk menemukan cara mengontrol sungai Nil ( akan tetapi gagal), pindah ke Spanyol dan wafat pada tahun 1040 M. Adapun kontribusi antara lain; adanya konsep lintasan cahaya di berbagai media dan hukum pembiasan cahaya, kajian spektrum cahaya. Kitabnya Al-Manadhir membahas warna matahari terbenam, fenomena fisis tentang bayangan, pelangi, gerhana, dan cahaya. Kajian tentang mata dan proses melihat. sedangkan Mizan al-Hikmah membahas kerapatan atmosfer, refraksi atmosfer, dan tinggi matahari saat senja. Teori gaya tarik benda. Hukum mekanika. Karyanya lebih dari 200 buku.


n) Ibn Rusyd (Averroes)
Yakni Abu'l Waleed Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rushd, lahir 1128 M di Kordoba, Spanyol. Banyak belajar dari koleksi perpustakaan Kordoba yang mengoleksi 500.000 buku. Wafat di Maroko 1198 M. Adapun kontribusinya dalam dunia iptek antara lain; Kitab al-Kulyat fi al-Tibb yang berisi berbagai aspek kedokteran, termasuk diagnosa, penyembuhan, dan pencegahan penyakit. Tuhafut al-Tuhafut menanggapi karya Al-Ghazali, dipengaruhi pola pikir eropa. Tafsir mengomentari karya Aristototles berdasarkan analisisnya dan tafsir Al-Quran. Karyanya lebih dari 20.000 halaman, mencakup filosofi, astronomi, kedokteran, fikih. Pemikirannya mempengaruhi Eropa pada abad ke- 12 – 16.
o) Abdus Salam (Ilmuan islam moderen)
Penerima Nobel Fisika 1979 M ini lahir pada tahun 1926 M di Jhang, Pakistan. pendidikannya ditempuh di Universitas Punjab dan Cambridge (fisika teori). Ia merupakan dosen Matematika di Punjab, dan seorang profesor fisika teori di London, direktur ICTP, Trieste. Muslim yang taat, dianggap pengikut Ahmadiyah Qadian. Wafat 1996 M. Kontribusinya antara lain; Teori penyatuan gaya nuklir lemah dan gaya elektromagnetik, dari empat gaya fundamental di alam (gaya nuklir kuat, gaya elektromagnetik, gaya nuklir lemah, dan gaya gravitasi). Bersama Sheldon Glashow dan Steven Weinberg menerima Nobel Fisika 1979.


DAFTAR PUSTAKA

Azhari, Susiknan, Ilmu Falak: Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern. Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2007.
Izzudin, Ahmad, Ilmu Falak Praktis: Metode Hisab-Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya, Semarang, Komala Grafika, 2006.
Izzudin, Ahmad, Ilmu Falak Praktis: Metode Hisab-Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya, Semarang, Komala Grafika, 2006.
Hidayat, Bambang, Abu Raihan Al-Biruni, Jakarta : Suara Bebas, 2007.
Khazin, Mukhyidin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta, Buana Pustaka, 2004.
L. Esposito, Jhon, Sains-Sains Islam, Depok : Inisiasi press, 2004.
Makalah Dr. T Djamaluddin dengan judul Ilmuwan Muslim Inspirator Modernisasi Dunia Disampaikan dalam “Diklat Hisab Rukyat ” di Tugu , Bogor , 2-5 Oktober 2007.
www.astronomes.com/m0_histoire/m014_astronomiislam.html
www. bicaramuslim.com
www.syariahonline.com
KONSEP TUHAN DI DUNIA TASAWUF DAN KAJIANNYA DALAM AL-QUR’AN

PENDAHULUAN
Kita ketahui bahwasanya tanpa disadari terdapat segolongan dari kita (umat Islam) yang tak puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadah seperti shalat, puasa, zakat, serta haji. Mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhannya, jalan untuk menuju hal tersebut biasanya kita sebut dengan istilah Al-Tasawwuf atau bisa lebih kita kenal dengan nama Sufisme. Istilah ini biasanya digambarkan sebagai suatu aliran mistisisme (sufisme) dalam dunia Islam.
Tujuan dari at-Tasawwuf atau Sufisme itu sendiri ialah memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhannya, sehingga disadari betul bahwa dirinya berada dalam hadirat Tuhannya. Sehingga intisari dari jalan ajaran ini adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dan Dzat Tuhan. Sehingga puncak dari kesadaran itu memberi bentuk rasa dekat sekali dengan Tuhan, dalam arti bersatu dengan Tuhan yang dalam istlah Arab biasa disebut dengan Ittihad, dalam istilah Barat Mystical Union. Bahkan bukan hanya itu lebih lanjutnya perasaan (emosi) mereka naik keatas lagi yang berakibat merasa adanya penjelmaan Tuhan dalam dirinya, yang dalam bahasa Arab disebut dengan Hulul dan dalam istilah jawa terkenal dengan nama Manunggaling Kaulo Gusti (suatu istilah yang diambil dari kisah syekh Siti Jenar) atau yang lebih populer lagi yaitu Wahdatul Wujud. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa ketiga istilah iyu berbeda.
Konsep-konsep inilah yang mengundang kontroversi dari berbagai kalangan sehingga muncul berbgai macam pendapat didalamnya. Dan karena hal ini pula pemakalah sangat tertarik untuk membahas dan mengkaji ulang permasalahan yang selalu hanya memandangnya dari satu sisi saja.

RUMUSAN MASALAH
Menurut apa yang dibahas dari pendahuluan di atas, maka pemakalah akan memberi batasan yang jelas dan tegas mengenai permasalahan yang hendak akan pemakalah bahas. Adapun di antaranya yaitu terkait dengan :
1. Definisi Atau Makna Dari Sufi Dan Tasawuf
2. konsep dan Ajaran Tasawuf Dalam Al-Qur’an
3. Konsep Aqidah Sufisme yang dianggap kontroversi.

PEMBAHASAN
A. Definisi serta Makna dari Tasawuf
Menurut etimonologi Tasawuf (تَصَوُّف) berasal dari kata Shafa' yang artinya kesucian, صُـوْفٌ yang artinya wol atau Bulu Domba, akan tetapi yang dimaksud bukanlah wol dalam konteks zaman sekarang, tetapi wol zaman dimana kain tersebut merupakan pakaian kasar yang dipakai oleh orang miskin di Timur Tenagah. Ada juga yang mengatakan dari kata تَصـَوُّف itu sendiri yang artinya berlebihan, diidentikkan dengan sikap berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia. Pelakunya disebut Sufi (selanjutnya ditulis dengan Sufi, sebagaimana yang lazim dikatakan) (صُوْفِيٌّ), dan jamaknya adalah Sufiyyah (صُوْفِيّـَةٌ).
Sedangkan menurut terminologinya, tasawuf memiliki banyak definisi, hanya saja semua definisi tersebut mempunyai esensi dan tujuan yang sama. Salah satu definisi itu adalah yang dikatakan oleh Syekh Zakaria Al-Anshari ra . :
التصوف علم تعرف بـه أحـوال تزكيـة النفس وتصفيـة الأخـلاق وتعمير الظاهر والبــاطن لنيل السعـادة الأبديـة
"Tasawuf ialah disiplin ilmu yang bertujuan untuk mengetahui cara-cara mensucikan hati, memuliakan akhlaq serta memakmurkan zahir dan batin demi mencapai kebahagiaan yang abadi"
Dari definisi-definisi tasawuf di atas sudah nampak mencerminkan sekali akan adanya konsep kezuhudan ( keinginan untuk meninggalkan keduniawian), keikhlasan dan kesucian (hati) dalam menempuh kehidupan bagi para penganut ajaran tersebut.

B. Tasawuf Dalam Al-Qur’an
Mengutip dari pendpatnya Ignaz Goldziher dalam bukunya Madzahib Al-Tafsir Al-Islami bahwa tasawuf benar-benar bukanlah konsep (ide) yang bersifat Qur’ani . Ini tidak lain karena dilihat dari sejarah awal mulanya tasawuf, tidak ada literatur yang menyebutkan dalam sejarah bahwa ajaran tasawuf berasal murni bawaan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Ada yang berpendapat bahwa tasawuf merupakan kebiasaan Rahib-Rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kesenamgan materil, ada pula yang menjelaskan bahwa ajaran ini timbul atas pengaruh dari ajaran Hindu. Disebut juga tasawuf berasal dari falsafah yunani kuno seperti Pyhtagoras dan Plotinus. Untuk nama terakhir ini ada yang mengatakan merupakan embrio tasawuf yang di bawa dalam dunia Islam .
Akan tetapi bagaimanapun Islam merupakan agama yang komplit yang telah membahas berbagai macam aspek kehidupan manusia, baik dunia maupun akhirat sehingga hal tersebut diatas tidak sepenuhnya dapat dikatakan benar. Seperti ajaran dasar mistisisme tentang faham bahwa Tuhan dekat dengan manusia terdapat dalam Al-Qur’an dan juga Ahaditsu Ar-Rosul. Seperti dalam surat Al-Baqoroh ayat 186, Allah berfirman:
                  
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (Al-Baqarah 186)
Dari ayat diatas sangat jelas sekali bahwasanya dalam Islam ada anjuran untuk selalu lebih mendekatkan diri pada Allah, lebih dari itu kata do’a dalam ayat tersebut menurut para sufi bukan berdo’a dalam arti yang lazim, akan tetapi mengandung arti berseru, memanggil. Tuhan mereka panggil, dan Tuhan memperlihatkan diri-Nya kepada mereka . Dan juga firman Allah:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya” (Qs. Qaaf 16)
Dan maih banyak lagi pelajaran-pelajaran ketsawufan yang terdapat dalam Al-Qur’an yang perlu kita gali lagi akan esensinya.

C. Akidah tasawuf yang dianggap Kontroversi.
a) Aqidah sufisme mengenai Allah:
Orang-orang tasawwuf percaya kepada Allah dengan aqidah-aqidah yang macam-macam di antaranya al-hulul (inkarnasi, penitisan/ penjelmaan Tuhan dalam diri manusia) seperti pendapat Al-Hallaj (menyebabkan ia memaklumkan dirinya sebagai "kebenaran" dengan ucapan "anal Haq" = Akulah Kebenaran. Al-Haq adalah salah satu nama Tuhan. Dengan perkataannya itu berarti ia mengaku: "Akulah Tuhan." ). Faham Hulul, faham yang menyatakan, bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu sebagai tempat-Nya, setelah sifat-sifat kemanusiaan dalam tubuh tersebut dihilangkan. Faham Hulul dalam tasawwuf ditimbulkan oleh Husein Ibnu Manshur al-Hallaj (lahir di Persia tahun 858M) yang mengajarkan bahwa: Allah memiliki dua (2) sifat dasar (natur), yaitu sifat ke-Tuhan-an (lahuut) dan sifat kemanusiaan (Nasuut). Hal tersebut dilihat dari teori kejadian makhluk-Nya, sebagai berikut: Sebelum Tuhan menciptakan makhluk, Ia hanya melihat diriNya sendiri. Dalam kesendirian-Nya itu, terjadilah dialog antara Tuhan dengan diriNya.
Dialog yang dalam, tidak terdapat dalam kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanya kemuliaan dan ketinggianNya dan Allah pun cinta pada zatNya sendiri. Cinta yang tidak dapat disifatkan dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak dan Ia-pun mengeluarkan dari yang tiada, bentuk (copy) diri-Nya, yang mempunyai segala sifat dan namaNya, danbentuk (copy) tersebut adalah Adam, dan seterusnya. Setelah Adam tercipta dengan cara-Nya, maka Ia sangat mencintai dan memulia¬kannya di syurga dan sebagai khalif di bumiNya.
b) Konsep Wahdatul Wujud
Membicarakan wahdatul wujud yang dalam bahasa jawa terkenal dengan istilah manunggaling kaulo gusti dalam teori sufi tidak lepas dari sejarah tasawuf itu sendiri. Gerakan tasawuf ini berjalan secara gradual. Ia petama kali muncul akibat dari sikap zuhud secara total yang berusaha untuk melepaskan diri dari kehidupan yang bersifat keduniawian, selanjutnya melalui pemikiran-pemikiranya tentang Tuhan para pelakunya (sufi) lantas sampai pada perasaan (emosi) yang berjalan naik keatas, sampai berujung pada perasaan rindu kepada Allah, sehingga menimbulkan cinta yang sangat mendalam kepada Allah.
Dari perasaan cinta yang sangat mendalam inilah timbul rasa memiliki dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari jiwanya, yang kemudian tenggelam dalam alam idealisme serta leburnya wujud diri yang bermuara pada hakikat Allah.
Kesatuan realitas (wahdat al-wujûd) adalah salah satu gagasan paling kontroversial dalam metafisika, khususnya metafisika mistik. Pemikiran ini dicetuskan oleh Ibn Arabi.
Akan tetapi, menurut Kautsar Azhari Noer, Ibnu Arabi sendiri, sebenarnya, secara formal tidak pernah menggunakan kata-kata wahdah al-wujûd dalam tulisan-tulisannya. Orang pertama yang menggunakan istilah ini, meski tidak sebagai istilah teknis dan independen, adalah Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274 M). Hanya saja, ajaran-ajaran Ibn Arabi tentang realitas bisa memberi pemaknaan ke arah itu.
Sehingga dalam tasawuf sendiri banyak sekali sekte–sekte bermunculan sebagaimana yang terdapat dalam thoriqoh dan ajarana-ajaran keagamaan lainnya dalam Islam. beberapa sekte tersebut antara lain :
 Al Isyraqi, sekte ini didominasi oleh ajaran filsafat bersama sifat zuhud. Yang dimaksud dengan Al Isyraqi (penyinaran) adalah penyinaran jiwa yang memancarkan cahaya dalam hati, sebagai hasil dari pembinaan jiwa dan penggemblengan ruh disertai dengan penyiksaan badan untuk membersihkan dan menyucikan ruh, yang ajaran ini sebenarnya ada pada semua sekte-sekte tasawuf, akan tetapi ajaran sekte ini cuma sebatas pada penyimpangan ini dan tidak sampai membawa mereka kepada ajaran Al Hulul (menitisnya Allah ‘azza wa jalla ke dalam diri makhluk-Nya) dan Wihdatul Wujud (bersatunya wujud Allah ‘azza wa jalla dengan wujud makhluk atau Manunggaling Kawulo Gusti. meskipun demikian ajaran sekte ini bertentangan dengan ajaran Islam, karena ajaran ini diambil dari ajaran agama-agama lain yang menyimpang, seperti agama Budha dan Hindu.
 Al Hulul, yang berkeyakinan bahwa Allah ‘azza wa jalla bisa bertempat atau menitis dalam diri manusia.. Keyakinan ini diserukan oleh beberapa tokoh-tokoh ekstrem ahli Tasawuf, seperti Hasan bin Manshur Al Hallaj, yang karenanya para Ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan dia harus dihukum mati, yang kemudian dia dibunuh dan disalib –Alhamdulillah ‘azza wa jalla- pada tahun 309 H. Dan di dalam Sya’ir yang dinisbatkan kepadanya.
 Wihdatul Wujud itu sendiri, yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini tidak lain merupakan perwujudan/penampakan Zat Ilahi (Allah ‘azza wa jalla) – maha suci Allah ‘azza wa jalla dari segala keyakinan kotor mereka-. Dedengkot sekte ini adalah Ibnu ‘Arabi Al Hatimi Ath Thai (Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ath Thai Al Hatimi Al Mursi Ibnu ‘Arabi, yang binasa pada tahun 638 H dan dikuburkan di Damaskus.
c) Aqidah Sufi Mengenai Rasulullah SAW
Sufisme dalam hal mempercayai Rasulullah juga ada bermacam-macam aqidah. Di antaranya ada yang menganggap bahwa Rasul SAW tidak sampai pada derajat dan keadaan mereka (orang-orang sufi). Dan Nabi SAW (dianggap) jahil (bodoh) terhadap ilmu tokoh-tokoh tasawwuf seperti perkataan Busthami: "Kami telah masuk lautan, sedang para nabi berdiri di tepinya."
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, pengarang kitab Ila at-Tashawwuf ya 'Ibadallaah menisbatkan perkataan tersebut kepada At-Tijani (pendiri tarekat At-Tijaniyah). Lalu Al-Jazairi berkomentar: kelanjutan ucapan At-Tijani ini bahwa quthub-quthub (wali-wali yang ada di kutub-kutub dunia) sufi itu menurut pendapat mereka lebih tahu dibanding Nabi-nabi tentang Allah dan lebih mengerti tentang syari'atNya yang mengandung kecintaan dan kemarahan.
Bukankah (kepercayaan) ini merupakan kekafiran wahai hamba-hamba Allah? komentar Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Khatib Masjid Nabawi Madinah. Di antara mereka (orang-orang sufi) ada yang mempercayai bahwa Rasul Muhammad itu adalah kubah alam, dan dia itulah Allah yang bersemayam di atas Arsy, sedangkan langit-langit, bumi, arsy, kursi, dan semua alam itu dijadikan dari nurnya (nur Muhammad), dan dialah awal kejadian, yaitu yang bersemayam di atas Arasy Allah. Inilah aqidah Ibnu Arabi dan orang-orang yang datang setelahnya atau pengikutna.
d) Aqidah Sufi Mengenai Wali-wali.
Sufisme dalam hal wali-wali juga mempercayai dengan keper¬cayaan yang bermacam-macam. Di antara mereka ada yang melebihkan wali di atas nabi. Pada umumnya orang sufi menjadikan wali itu menyamai/sejajar dengan Allah dalam segala sifatnya, maka ia (wali) itu mencipta, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur alam. Orang sufi membagi-bagi wali menjadi beberapa bagian, ada yang disebut wali Al-Ghauts yang mempunyai kemauan sendiri dalam segala sesuatu di dunia ini, dan ada 4 Wali Kutub yang memegangi pojok-pojok yang empat di dunia ini atas perintah wali Al-Ghauts. Dan ada wali Abdal yang tujuh, masing-masing mempunyai kekuasaan di satu benua dari 7 benua atas perintah wali Al-Ghauts. Dan ada wali Nujaba', yang mereka itu memiliki kekuasaan di kota-kota setiap wilayah di kota. Di kota-kota, demikianlah seterusnya, maka jaringan wali-wali internasional ini menguasai makhluk, dan mereka punya dewan tempat mereka berkumpul yaitu di Gua Hira', setiap malam mereka melihat taqdir. Cekak aosnya (pendek kata), dunia perwalian (sufi) itu adalah dunia khurafat (kepercayaan yang menyeleweng dari kemurnian Islam) total.
Ini otomatis berbeda dengan kewalian dalam Islam yang ditegak¬kan di atas agama dan taqwa, amal shaleh dan ibadah yang sempurna kepada Allah, dan membutuhkan (pertolongan) Allah. Sebenarnya wali itu tidak bisa menguasai urusan dirinya sendiri (untuk mendatangkan manfaat dan madharat) sedikitpun, lebih-lebih untuk menguasai orang lain. Allah Ta'ala berfirman:


        
"Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan." (QS Al-Jinn : 21)
Sebagian cerita yang dikisahkan orang-orang sufi memang terjadi, namun bercampur dengan sihir, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dalam bukunya yang berjudul Al-Furqan baina Auliya'ir Rahman wa Auliya'is syaithan (perbedaan antara wali-wali Tuhan dan wali-wali syetan). Buku itu muncul waktu orang-orang mencampuradukkan antara sihir dan karamah. Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa sebagian orang musyrik, baik dari Bangsa Arab, India, Turki, Yunani, maupun bangsa lain, mempunyai kegigihan dalam bidang ilmu, kezuhudan, dan ibadah; namun mereka tidak mengikuti dan tidak beriman kepada para Rasul, tidak membe¬narkan berita-berita yang Rasul bawa, dan tidak mentaati perin¬tahnya. Orang-orang seperti itu bukanlah orang-orang yang beriman, dan bukan pula wali-wali Allah. Mereka adalah orang-orang yang dihubungi dan dihampiri oleh syetan-syetan. Mereka dapat mengungkapkan beberapa perkara ghaib, mereka memiliki beberapa perilaku luar biasa yang merupakan bagian dari sihir. Mereka itu tukang sihir yang dihampiri syetan-syetan. Allah Ta'ala berfirman:
    •   •          
"Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syetan-syetan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengaran (kepada syetan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta." (QS. As-Syu'ara: 221-223).
Mereka bersandar kepada Mukasyafat (penyingkapan perkara- perkara yang ghaib) dan hal-hal yang luar biasa. Apabila mereka tidak mengikuti Rasul, tentu amalan-amalan mereka mengandung dosa seperti kemusyrikan, kedzaliman, kekejian, sikap berlebihan, atau bid'ah dalam ibadah. Mereka dihampiri dan didatangi syetan-syetan, sehingga mereka menjadi wali-wali syetan, bukan wali-wali Ar-Rahman (Tuhan). Allah Ta'ala berfirman:
Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran (Allah) Yang Maha Pemurah (Al-Quran), kami adakan baginya syetan (yang menyesatkan), dan syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya." (Az-Zukhruf/ 43:36).
Pengajaran Allah (Dzikrur Rahman) adalah pengajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya saw, yakni al-Quran. Barangsiapa tidak beriman kepada Al-Quran, tidak membenarkan beritanya, dan tidak meyakini kewajiban perintahnya, berarti dia telah berpaling dari Al-Quran, kemudian syetan datang menjadi teman setia baginya.
Seseorang yang selalu berdzikir kepada Allah, baik malam maupun siang, disertai dengan puncak kezuhudan dan kesungguhan beribadah kepada-Nya, namun tidak mengikuti dzikir yang Allah turunkan, yakni Al-Quran, maka dia termasuk wali syetan, meskipun dia mampu terbang di angkasa atau berjalan di atas air. Syetanlah yang membawanya ke angkasa sehingga ia mampu terbang .
Sedangkan wali Allah menurut Al-Quran tidak seperti yang digambarkan oleh orang tasawwuf. Tetapi wali Allah yaitu orang-orang yang beriman dan bertaqwa, seperti yang ditegaskan Allah SWT dalam firmanNya :


"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akherat. tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. yang demikian itu adalah kemenangan yang besar." (QS Yunus: 62, 63, 64).
Dimaksudkan dengan wali-wali Allah dalam ayat ini ialah orang-orang mukmin dan mereka selalu bertaqwa, sebagai sebutan bagi orang-orang yang membela agama Allah, dan orang-orang yang menegakkan hukum-hukumNya di tengah-tengah masyarakat, dan seba¬gai lawan kata dari orang-orang yang memusuhi agamaNya, seperti orang-orang musyrikin dan orang kafir .
Dikatakan tidak ada kekhawatiran bagi mereka, karena mereka yakin bahwa janji Allah pasti akan datang, dan pertolonganNya tentu akan tiba, serta petunjukNya tentu membimbing mereka ke jalan yang lurus. Dan apabila ada bencana menimpa mereka, mereka tetap bersabar menghadapi dan mengatasinya dengan penuh ketabahan dan tawakkal kepada Allah .
Dan tidak pula gundah hati, karena mereka telah meyakini dan rela bahwa segala sesuatu yang bersangkut paut dengan alam dan seluruh isinya tunduk dan patuh di bawah hukum-hukum Allah dan berada dalam genggamanNya. Mereka tidak gundah hati lantaran berpisah dengan dunia, karena kenikmatan yang akan diterima di akherat adalah kenikmatan yang lebih besar. Dan mereka takut akan menerima adzab Allah di hari pembalasan, karena mereka dan seluruh hatinya telah dibaktikan kepada agama menurut petunjukNya. Mereka tidak merasa kehilangan sesuatu apapun, karena telah mendapatkan petunjuk yang tak ternilai besarnya .
Kemudian daripada itu Allah SWT menjelaskan siapa yang dimaksud dengan wali-wali Allah yang berbahagia itu, dan apakah sebabnya mereka itu demikian. Penjelasan yang didapat di dalam ayat ini; wali itu ialah orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa. Dimaksud beriman di sini ialah orang yang beriman kepada Allah, kepada malaikatNya, kepada kitab-kitabNya, kepada Rasul-rasul-Nya, dan kepada hari qiyamat, dan segala kepastian yang baik dan yang buruk semuanya dari Allah, serta melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang beriman. Sedang yang dimaksud dengan bertaqwa ialah memelihara diri dari segala tindakan yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah, baik hukum-hukum Allah yang mengatur tata alam semesta, ataupun hukum syara' yang mengatur tata hidup manusia di dunia .
Sesudah itu Allah SWT menjelaskan bahwa mereka mendapat kabar gembira, yang mereka dapati di dalam kehidupan mereka di dunia dan kehidupan mereka di akherat. Khabar gembira yang mereka dapati ini, ialah khabar gembira yang telah dijanjikan Allah melalui Rasul-Nya. Khabar gembira yang mereka dapatkan di dunia seperti kemenangan yang mereka peroleh di dalam menegakkan kali¬mat Allah, kesuksesan hidup lantaran menempuh jalan yang benar, harapan yang diperoleh sebagai khalifah di dunia, selama mereka tetap berpegang kepada hukum Allah dan membela kebenaran agama Allah akan mendapat husnul khatimah. Adapun khabar gembira yang akan mereka dapati di akherat yaitu selamat dari kubur, dari sentuhan api neraka dan kekalnya mereka di surga 'Adn .
Ada orang yang mengatakan, bahwa wali Allah itu orang keramat, dapat mengerjakan perkara-perkara yang ajaib dan aneh, seperti berjalan di atas air, dapat menerka yang dalam hati orang dan sebagainya. Maka yang demikian itu, bukanlah menurut istilah Al-Quran, melainkan menurut istilah orang tasauf. Bahkan ada juga yang disebut wali Allah, orang yang kurang akalnya, dan ganjil perbuatannya.
Jelaslah bedanya, antara wali Allah menurut Al-Quran, dan wali Allah menurut orang tasawwuf atau sufi. Orang yang kurang akalnya dan ganjil perbuatannya pun disebut wali, itu jelas di luar ajaran Al-Quran. Mafhum mukhalafahnya (pengertian tersiratnya), ketika orang-orang justru mengangkat-angkat orang model terakhir itu sebagai wali dan dihormati, bahkan dijadikan pemimpin yang menentukan urusan orang banyak, boleh diduga keras bahwa orang-orang itu memang telah lari dari Al-Quran. Dan itulah sebenarnya bencana bagi ummat Islam. Namun anehnya, di khutbah-khutbah Jum'at atau di pengajian pun diserukan oleh para khatib yang model itu untuk bersyukur kepada Allah SWT atas telah dipilihnya orang yang mereka anggap wali padahal sebenarnya sama sekali bukan itu.
e) Aqidah Sufi Mengenai Surga dan Neraka
Mayoritas orang sufi (menurut Abdur Rahman Abdul Khaliq, semuanya) berkeyakinan bahwa menuntut surga merupakan suatu aib besar. Seorang wali tidak boleh menuntutnya (mencari surga) dan barangsiapa menuntutnya, dia telah berbuat aib. Menurut mereka, yang patut dituntut adalah al-fana' (menghancurkan diri dalam proses untuk menyatu dengan Allah SWT) yang mereka klaim (dakwakan) terhadap Allah, dan melihat keghaiban, dan mengatur alam... Inilah surga orang sufi yang mereka klaim.
Adapun mengenai neraka, orang-orang sufi berkeyakinan juga bahwa lari darinya itu tidak layak bagi orang sufi yang sempurna. Karena takut terhadap neraka itu watak budak dan bukan orang-orang merdeka. Di antara mereka ada yang berbangga diri bahwa seandainya ia meludah ke neraka pasti memadamkan neraka, seperti kata Abu Yazid al-Busthami (Parsi, w. 261H/ 874M). Dan orang sufi yang berkeyakina dengan Wahdatul Wujud (menyatu dengan Tuhan), di antara mereka ada yang mempercayai bahwa orang-orang yang memasuki neraka akan merasakan kesegaran dan keni'matannya, tidak kurang dari keni'matan surga, bahkan lebih. Inilah pendapat Ibnu Arabi dan aqidahnya
Aqidah mengenai surga (model sufi) ini, sering dianggap sebagai aqidah yang tinggi, yaitu manusia menyembah Allah tidak mengharapkan surga dan tidak takut neraka. Inisangat bertentangan sekali dengan yang terdapat di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Allah telah mensifati keadaan para nabi dalam ibadah mereka bahwa:

Mereka berdo'a kepada Kami dengan harap (roghoban) dan takut (rohaban). Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu'." (QS Al-Anbiyaa': 90).
Ar-roghob yaitu mengharapkan surga Allah dan keutamaanNya, sedang ar-rohab yaitu takut dari siksaNya, padahal para nabi itu mereka adalah sesempurna-sempurnanya manusia (segi) aqidahnya, keimanannya, dan keadaannya. Dan (landasan) dari As-Sunnah: Perkataan seorang Arab Badui kepada Nabi SAW:
"Wallahi, sungguh aku tidak bisa mencontoh dengan baik bacaan lirihmu (dandanik --suara tak terdengarmu) dan bacaan lirih Mu'adz. Namun hanya aku katakan, "Ya Allah, aku mohon surga kepadaMu, dan berlindung kepadaMu dari neraka." Lalu Rasulullah saw berkata: "Sekitar itu juga bacaan lirih kami." (Hadits Riwayat Ibnu Majah).
Keadaan yang diupayakan oleh orang-orang sufi untuk diwujudkan yaitu beribadah kepada Allah tanpa mengharapkan (surga) dan tanpa merasa takut (neraka), maka menyeret mereka kepada bencana. Mereka berusaha kepada tujuan yang lain dengan ibadah yaitu yang disebut fana' (meleburkan diri) dengan Tuhan, dan ini menyeret mereka kepada al-jadzdzab (merasa melekat dengan Tuhan), kemud¬ian menyeret mereka pula kepada al-hulul (inkarnasi/penjelmaan Tuhan dalam diri manusia), kemudian menyeret mereka pula pada puncaknya kepada wihdatul wujud (menyatunya Tuhan dengan hamba atau manunggaling kawula Gusti) . Wallahu ‘alam




KESIMPULAN
Pemikiran tasawuf dari zaman ke zaman selalu menimbulkan suatu kontroversi, terlebih pemikiran tentang kesatuan realitas (wahdat al-wujûd) yang bermula dari gagasan orisinal Ibnu Arabi. Meski dasar-dasar gagasan ini diambil dari pemikiran ittihâd (penyatuan manusia dengan Tuhan) al-Hallaj (858-913 M), tetapi ia berbeda dengannya. Dalam teori al-Hallaj, persoalan yang ditekankan hanya hubungan antara Tuhan (al-Lâhût) dan manusia (al-Nâsût), bahwa sifat kemanusiaan hadir pada Tuhan dan sifat ketuhanan hadir hanya pada manusia, tidak pada yang lain; dalam teori Ibn Arabi menjadi lebih luas, yakni hubungan antara Tuhan (al-Haqq) dan semesta (al-Khalq).
Dan ini merupakan sebagian konsep yang muncul dari ajaran tasawuf, yang sangat memungkinkan juga bermunculan konsep-konsep lain yang lebih memerahkan telinga-telinga ulama diluar sufisme, mengingat ajaran ini dilandasi atas dasar perasaan dan olah rasa jiwa.
Perlu kita ketahui bahwasanya Al-Qur’an itu sendiri memberikan banyak porsi dalam perkembangan dan timbulnya aliran tasawuf yang sedemikian rupa timbul dikalangan umat Islam, sehingga tidak bisa dikatakan secara sepihak bahwa ajaran tasawuf itu sesat sebagaimana konsep Ibnu Arabi, Al-Hallaj bahkan Syekh Siti Jenar. Wallah hu ‘alam.

PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami sampaikan, dan kami sangat menyadari akan kesalahan serta kekurangan kami yang disebabkan akan banyak hal, sehingga kritik dan saran yang membangun akan kelengkapan dan kesempurnaan makalah ini begitu kami harapkan. Semoga makalah yang kecil ini dapat bermanfaat bagi kami serta para pembaca budiman, amin......


DAFTAR BACAAN
Azhari Noer, Ibn Arabi Wahdat Al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta, Paramadina, 1995
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta, Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah Tafsir Al Qur'an, Bulan Bintang, 2001.
------------------------------, Al-Quran dan Tafsirnya, Jakarta, Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah Tafsir Al Qur'an, Bulan Bintang, 2001.
Hadiwiyono, Harun ,Kebatinan Islam Abad XVI. Jakarta: Gunung Mulia, 1985
Goldziher, Ignaz Mazhab Tafsir Dari Aliran Kelasik Hingga Moderen, Alih Bahasa Jogjakarta : elSAQ Prees. 2006
Makalah Syaiful Mujab, Kritik Atas Konsep Ibnu Arabi Tentang wahdatul wujud, program pasca sarjana IAIN Walisongo,2008.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 2002 jilid. II
Shodiq, Kamus Istilah Agama, Jakarta: CV Sienttarama, cetakan II, 1988.
Sholikhin, KH. Muhammad, Manunggaling Kawula Gusti. Jakarta: PT. Buku Kita. 2008.
Taimiyah, Ibnu, Mewaspadai Tasawuf, Alih Bahasa, Bekasi: Wala Press, Cet I, 1416H/ 1995
Yunus, Mahmud, Tafsir Quran Karim, Jakarta : PT Hidakarya Agung, cetakan ke-27, 1988M/ 1409
www. Muwlim.or.id